INDONESIA kaya akan khasanah budaya, termasuk dalam bentuk
cerita-cerita rakyat yang melegenda. Entah bagaimana cerita-cerita itu dapat
"meninggalkan jejak" yang hingga kini dapat kita saksikan dan kita
kunjungi, seolah kisah-kisah itu benar adanya, bukan sebuah takhyul yang
mengemuka akibat keberadaan tempat-tempat itu.
Dari segi pariwisata, tentu saja tempat-tempat yang
berkaitan dengan legenda itu dapat mendatangkan income yang tidak sedikit,
karena tempat-tempat itu menjadi obyek yang yang ramai dikunjungi wisatawan
domestik dan mancanegara. Nah, untuk menambah khasanah pengetahuan kita tentang
objek wisata di Indonesia yang berlatar belakang legenda, inilah tempat-tempat
itu. Siapa tahu, jika Anda belum pernah ke tempat-tempat itu, Anda akan
memasukkannya dalam daftar tempat wisata yang akan Anda kunjungi. Datanya
dihimpun dari berbagai sumber.
Berikut 7 Tempat Wisata Legenda di Indonesia
1. Batu Gantung, Sumatra Utara
Konon, zaman dahulu kala di tepi Danau Toba hidup sepasang
suami istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita. Namanya
Seruni. Sayang, meski banyak pemuda yang menyukai Seruni, dan gadis itu telah
memilih salah seorang dari mereka sebagai kekasihnya, suami istri itu telah
menjodohkan Seruni dengan seorang pemuda yang masih sepupunya Seruni sendiri.
Suatu hari, Seruni melamunkan nasibnya di pinggir Danau Toba
dengan ditemani anjing peliharaannya yang bernama Toki, dan memutuskan untuk
bunuh diri dengan cara menerjunkan diri dari tebing yang curam. Ia lalu
berjalan menuju tebing yang dimaksudkannya, namun sebelum tiba di sana dia
terperosok ke dalam sebuah lubang yang terdapat di sebuah batu besar, dan tak
dapat keluar dari sana.
Seruni memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di lubang itu,
dan berteriak; "Parapat, parapat!" yang artinya "Merapat,
merapat!" Tujuannya agar lubang pada batu itu merapat dan menghimpit
tubuhnya hingga ia tewas. Keinginan Seruni terkabul.
Maka, jika Anda ke Parapat, sebuah kota kecil di Kabupaten
Simalungun, Sumatera Utara, Anda akan menemukan sebuah batu besar yang
menyerupai tubuh seorang gadis yang seolah-olah sedang menggantung di tepi
tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu disebut Batu Gantung, dan hingga
kini menjadi salah satu objek wisata andalan Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Simalungun yang ramai dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara. Konon,
nama Kota Parapat berasal dari kata terakhir yang disebutkan Seruni, sebelum
gadis itu meninggal.
2. Tangkuban Parahu, Jawa Barat
BanyakBanyak ilmuwan yang menyatakan bahwa Gunung Tangkuban
Perahu merupakan sebuah gunung berapi aktif yang tercipta akibat proses alam
selama ribuan, bahkan jutaan tahun. Namun bagi masyarakat Jawa Barat, gunung
yang berjarak sekitar 25-30 kilometer di utara Kota Bandung dan berketinggian
2.084 meter dari permukaan laut (dpl) itu muncul di permukaan Bumi bukan akibat
proses alam, melainkan karena kesaktian Sangkuriang.
Konon, dahulu kala, ada seorang wanita cantik bernama Dayang
Sumbi. Ia hidup di tengah hutan bersama anaknya yang bernama Sangkuriang. Suatu
hari, Dayang Sumbi menyuruh Sangkuriang berburu rusa karena ia ingin sekali
memakan dagingnya. Sayang, rusa yang diburu Sangkuriang gagal didapatkan,
sehingga karena tak ingin mengecewakan ibunya, Sangkuriang membunuh Tumang,
anjing peliharaan ibunya yang menemani ia berburu, dan mempersembahkan
dagingnya kepada sang Ibu.
Dayang Sumbi marah sekali setelah tahu apa yang dilakukan
Sangkuriang itu karena Tumang ternyata penjelmaan ayah Sangkuriang sendiri. Ia
memukul kepala Sangkuriang hingga bercucuran darah, dan kemudian mengusir
Sangkuriang dari rumah.
Bertahun-tahun kemudian, Sangkuriang tumbuh dewasa yang
tampan dan gagah, tanpa sengaja kembali ke hutan tempat dimana ibunya tinggal,
dan menemukan Dayang Sumbi yang masih saja terlihat muda dan cantik. Ia jatuh
cinta, dan cintanya terbalas karena Dayang Sumbi pun tak tahu kalau Sangkuriang
adalah anaknya.
Suatu hari, saat mereka sedang bercengkrama, Dayang Sumbi
melihat luka di kepala Sangkuriang, dan segera mengetahui kalau pemuda yang
sedang memadu kasih dengan dirinya, adalah anaknya sendiri. Ia syok dan
memutuskan hubungan mereka. Sangkuriang marah, dan ngotot untuk tetap menikahi
Dayang Sumbi, meski kemudian Dayang Sumbi memberitahu kalau ia adalah ibu
kandung Sangkuriang sendiri.
Tak kehabisan akal, Dayang Sumbi kemudian menyatakan bahwa
ia bersedia dinikahi asalkan Sangkuriang mampu membuatkannya sebuah telaga dan
sebuah perahu dalam satu malam. Sangkuriang menyanggupi. Dengan dibantu jin,
Sangkuriang nyaris mampu memenuhi permintaan Dayang Sumbi, namun Dayang Sumbi
lagi-lagi tak kehabisan akal. Ia menebar kain boeh rarang (kain putih hasil
tenunannya), dan dalam sekejap mata kain itu mengeluarkan cahaya bagaikan
cahaya fajar di ufuk timur. Cahaya itu membuat jin-jin yang membantu
Sangkuriang, mengira hari telah pagi dan buru-buru pergi, meninggalkan
pekerjaannya yang hampir rampung.
Sangkuriang marah sekali ketika tahu siasat Dayang Sumbi
itu. Ia lalu menendang perahu yang telah dibuatnya, dan perahu itu kemudian
jatuh dalam keadaan menelungkup dan berubah menjadi gunung yang hingga kini
kita kenal dengan nama Gunung Tangkuban Perahu. Selama 2 abad terakhir, gunung
yang menjadi ikon pariwisata Jawa Barat ini telah beberap kali meletus, yakni
pada 1829, 1846, 1862, 1887, 1896, 1910, dan 1929.
3. Candi Prambanan, Yogyakarta
Inilah candi yang memiliki bentuk sangat anggun dan menjadi
salah satu ikon budaya Indonesia. Candi ini juga merupakan candi Hindu terbesar
di Asia Tenggara.
Konon, dahulu kala
ada seorang pemuda sakti mandraguna yang ingin menikahi seorang putri cantik
bernama Roro Jonggrang. Namanya Bandung Bondowoso. Pemuda ini beruntung karena
ayah sang putri yang merupakan seorang raja, merestui perasaannya, dan bahkan
memaksa sang Putri agar menikahi pemuda itu. Namun, sang putri enggan. Roro
Jonggrang kemudian memberi satu syarat kepada Bandung yang disebutnya sebagai
mas kawin, yakni meminta dibangunkan 1.000 buah candi yang harus telah rampung
dalam semalam, sebelum ayam berkokok menjelang fajar menyingsing. Bandung
menyanggupinya.
Menjelang dinihari, 999 candi telah dibuat, sehingga Roro
Jonggrang panik dan meminta para wanita agar memukul lesung (alat penumbuk
padi), sehingga ayam-ayam terbangun dan berkokok. Meski belum dinihari.
Bandung Bondowoso marah karena tahu telah dicurangi Roro
Jonggrang. Ia lalu mengubah putri itu menjadi batu yang kini kita kenal dengan
nama Candi Prambanan, atau Candi Roro Jonggrang menurut warga setempat.
Sementara candi-candi lain yang teklah dibuat Bandung Bondowoso dan berada di
sekitar Candi Roro Jonggrang dinamakan Candi Sewu atau Candi Seribu.
4. Danau Toba, Sumatera Utara
Jika ditinjau dari kaca ilmu pengetahuan, Danau Toba
merupakan sebuah kawah vulkanik berukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30
kilometer yang tercipta dari hasil ledakan gunung sekitar 75.000 tahun silam.
Namun bagi penduduk setempat, danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara ini
terbentuk karena dilatari sebuah legenda.
Konon, dahulu kala ada seorang pemuda miskin bernama Toba
yang hidup dari bertani dan menangkap ikan di sungai. Suatu hari, ia menangkap
seekor ikan mas yang dapat berbicara sebagaimana layaknya manusia. Ikan itu
kemudian dibawa pulang, dan menjadi seorang gadis yang amat cantik.
Menurut pengakuan gadis itu, dirinya adalah seorang bidadari
bernama Mina yang dikutuk para dewa, sehingga berubah menjadi ikan, dan meminta
Toba untuk tidak membocorkan rahasia ini kepada siapapun. Toba bersedia asalkan
Mina mau menikah dengannya, dan Mina setuju. Maka, menikahlah mereka, dan
dikaruniai seorang anak bernama Samosir. Suatu hari, Mina menyuruh Samosir
mengantarkan makan siang untuk Toba di ladang. Samosir menolak, namun karena
Mina memaksa, Samosir terpaksa menurut.
Di tengah jalan, karena lapar, Samosir memakan sebagian
besar nasi dan lauk pauk untuk Toba, sehingga ketika dia tiba di ladang, dia
bukan hanya terlambat, tapi juga makanan Toba tinggal sedikit. Toba marah besar
dan memukuli anak semata wayangnyanya itu sambil mengatakan; “Anak kurang ajar!
Betul-betul kau anak keturunan perempuan yang berasal dari ikan!”
Samosir menangis dan bergegas pulang. Ia mengadu kepada
Mina, dan menyampaikan apa yang dikatakan Toba. Mina terkejut dan merasa sangat
kecewa karena Toba telah melanggar janji. Ia menerjunkan diri ke sungai dan
kembali menjadi ikan. Tak hanya itu, air sungai meluap dan hujan turun dengan
sangat deras, sehingga lembah dimana Toba tinggal, tenggelam. Air juga
menggenangi desa-desa di sekitarnya, dan air tak surut lagi sehingga
terciptalah sebuah danau besar yang kini kita kenal dengan nama Danau Toba.
Konon, Toba tak dapat
menyelamatkan diri dari banjir besar tersebut, dan dari tengah danau itu
kemudian muncul sebuah pulau yang kini kita kenal dengan nama Pulau Samosir.
Danau Toba berjarak sekitar 176 kilometer dari Medan. Danau ini merupakan salah
satu objek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan, karena pemandangannya yang
indah.
5. Danau Tolire, Ternate
Danau ini berada di kaki Gunung Gamalama, sekitar 10
kilometer dari pusat Kota Ternate. Danau ini memiliki bentuk yang unik. Jika
dilihat dari udara, danau ini seperti mangkok yang menjorok ke dalam.
Dari pinggir atas
tepi danau hingga ke permukaan, airnya memiliki kedalaman sekira 50 meter.
Namun, kedalaman danau secara tepat tidak ada yang mengetahui karena belum ada
yang pernah mengukurnya. Warga setempat percaya, danau ini tidak memiliki
dasar, sehingga tidak ada yang berani menyelaminya. Konon, bila Anda melempar
sesuatu ke Danau Tolire, meski sekuat apapun lemparan Anda dari tepi danau,
sesuatu itu takkan pernah menyentuh air danau itu. Meski, air permukaan danau
terlihat tidak begitu jauh dari Anda.
Banyak mitos yang berkembang di Danau Tolire. Mitos yang
paling banyak dibicarakan adalah kisah mengenai seorang anak dan ayah
kandungnya. Konon, menurut cerita masyarakat setempat, di tempat Danau Tolire
berada saat ini, dulunya adalah sebuah kampung. Namun, kampung ini kemudian
dikutuk oleh Sang Penguasa Alam karena ada seorang ayah yang tega menghamili
anak gadisnya sendiri. Tempat si ayah tersebut berdiri ambles ke tanah dan kini
menjadi tempat Danau Tolire Besar. Sedangkan anaknya berubah menjadi Danau
Tolire Kecil, yang berada tak jauh dari situ.
6. Pantai Air Manis, Sumatra Barat
Pantai ini berada di Kota Padang. Panoramanya indah dengan
ombak bergulung-gulung yang sangat pas untuk berselancar. Pasir pantai ini
berwarna coklat keputih-putihan, terhampar luas dan landai. Dari waktu ke
waktu, terutama di akhir pekan dan hari libur, wisatawan membanjiri pantai ini
untuk sekedar berekreasi, kemping atau berselancar. Konon, pantai ini terkait
erat dengan legenda Malin Kundang, anak yang durhaka kepada ibunya sendiri, dan
dikutuk menjadi batu.
Malin mulanya anak orang miskin yang tinggal bersama ibunya
di sebuah kampung. Suatu hari, Malin merantau karena ingin menjadi orang kaya
raya, dan meninggalkan ibunya seorang diri. Bertahun-tahun kemudian, Malin kembali
sebagai seorang saudagar kaya raya dengan istri yang cantik jelita. Sayang,
karena malu melihat ibunya yang miskin dan berpakaian compang-camping, ia tak
mengakui ibunya itu. Bahkan sang Ibu diusir dari kapalnya yang megah.
Sakit hati karena perlakuan anaknya yang durhaka, Ibu Malin
Kundang berdoa kepada Tuhan dan mengutuk anaknya itu agar menjadi batu. Kutukan
itu terjadi. Malin, istri, kapal, dan semua anak buahnya berubah menjadi batu.
Hingga kini, batu penjelmaan mereka masih dapat dilihat di Pantai Air Manis
yang berjarak sekitar 15 km dari kota Padang.
7. SAMPURAGA
Alkisah, pada zaman dahulu kala di
daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan
seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka
tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka
setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya
sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada
mereka.
Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat
di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati
makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada
jarak antara majikan dan buruh.
“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh
saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan
peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.
“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga
penasaran, “Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki
sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara
mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas
sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.
“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi
merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu
saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.
“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang
berbakti” puji sang Majikan. Sepulang dari bekerja di ladang majikannya,
Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.
“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang
lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata
Sampuraga kepada ibunya. “Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?”,
tanya ibunya.
“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang
memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena
tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.
“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak
bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki
alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tidak
pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru
“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika
Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada
ibunya.
“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang
ibu. Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga pun segera mempersiapkan
segala sesuatunya.
Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu,
Raga berangkat! jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!”
saran Sampuraga kepada ibunya.
Berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika
sudah berhasil!” harap sang ibu.
Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan
sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu
dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata
sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian
merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu
berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,”
kata sang Ibu.
Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya
seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan
belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota
Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu.
Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang
indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian
kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua
itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.
Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran
pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya.
Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan
jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata
ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin
memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang
Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk
menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama
kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.
Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan Sampuraga.
Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling
cantik di wilayah kerajaan Pidoli.
“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau
aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.
“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan
putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.
Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran
sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara
tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih
disediakan. Gordang Sambilan dan Gordang Boru yang terbaik juga telah
dipersiapkan untuk menghibur para undangan.
Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah
tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita
itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika
anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang
yang kaya-raya.
“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri
bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin.
Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda
tua itu.
Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin
memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal
secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk
menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan
Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan
bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah
terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang
duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah
Sampuraga, anak kandungnya sendiri.
Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa
menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.
Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak
asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil
mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat
kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.
“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu
sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.
Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya,
bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan
terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua
itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.
“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai
ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan
mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.
“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan
dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali
merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.
“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia.
Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga.
Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali
mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang
menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani
menengahinya.
Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua
orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata,
perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga,
berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri
Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal
dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun
turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga.
Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara
ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat
penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang
selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.
Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi
kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur
berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua
unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan
makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari
upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat,
tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah
menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi
orang.
Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang
mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan
sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai
pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat jujur dan
sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat
dan perilaku Sampuraga.
Demikian cerita sampuraga yang telah di ambil dari berbagai
sumber, sehingga legenda yang mulai terlupkan oleh segenap warga demi untuk
melihat betapa hebatnya ganjaran yang didapa seorang anak bila durhaka kepada
orang tua. Cerita yang bisa menarik objek wisata ini seolah terabaikan oleh
pemerintah demi untuk tetap menjaga alkisah sampuraga dengan berbagai
peninggalan sejarah yang melegenda secara nasional.
Disekolah juga sudah jarang terdengar bagaimana legenda
dahulu yang bisa menggugah hati para siswa agar sampuraga adalah anak durhaka
yang tidak perlu di tiru sebab pendidikan ahlak sangt minim, sehingga adapt
istiadat Mandailing yang punya tutur sapa yang halus dan lembut kini mulai
putar akibat dari berbagai kebudayaan barat yang sudah menjadi bahan tontonan
di berbagai media televise.
Dari legenda juga adat istiadat yang bisa menuntun generasi
penerus bangsa harus tetap dilestarikan dengan berbagai metode pendidikan
sekolah untuk tidak mentiadakan adapt dan budaya Mandailing yang kini sudah
terkikis oleh zaman.
Pemerintah Daerah, DPRD Madina juga pemangku adat harus
tetap menjaga anak sebagai penenerus untuk tetap mengetahui adat istiadat
Mandailing yang mempunyai adap yang tinggi juga alkisah yang harus tetap
menjadi bahan contoh untuk semua orang agar tetap menghargai orang tua sebagaimana
legenda sampuraga.(Henri pulungan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar