Total Tayangan Halaman

Jumat, 07 Juni 2013

7 Tempat Wisata Legenda di Indonesia



INDONESIA kaya akan khasanah budaya, termasuk dalam bentuk cerita-cerita rakyat yang melegenda. Entah bagaimana cerita-cerita itu dapat "meninggalkan jejak" yang hingga kini dapat kita saksikan dan kita kunjungi, seolah kisah-kisah itu benar adanya, bukan sebuah takhyul yang mengemuka akibat keberadaan tempat-tempat itu.

Dari segi pariwisata, tentu saja tempat-tempat yang berkaitan dengan legenda itu dapat mendatangkan income yang tidak sedikit, karena tempat-tempat itu menjadi obyek yang yang ramai dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara. Nah, untuk menambah khasanah pengetahuan kita tentang objek wisata di Indonesia yang berlatar belakang legenda, inilah tempat-tempat itu. Siapa tahu, jika Anda belum pernah ke tempat-tempat itu, Anda akan memasukkannya dalam daftar tempat wisata yang akan Anda kunjungi. Datanya dihimpun dari berbagai sumber.


Berikut 7 Tempat Wisata Legenda di Indonesia

1. Batu Gantung, Sumatra Utara

Konon, zaman dahulu kala di tepi Danau Toba hidup sepasang suami istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita. Namanya Seruni. Sayang, meski banyak pemuda yang menyukai Seruni, dan gadis itu telah memilih salah seorang dari mereka sebagai kekasihnya, suami istri itu telah menjodohkan Seruni dengan seorang pemuda yang masih sepupunya Seruni sendiri.

Suatu hari, Seruni melamunkan nasibnya di pinggir Danau Toba dengan ditemani anjing peliharaannya yang bernama Toki, dan memutuskan untuk bunuh diri dengan cara menerjunkan diri dari tebing yang curam. Ia lalu berjalan menuju tebing yang dimaksudkannya, namun sebelum tiba di sana dia terperosok ke dalam sebuah lubang yang terdapat di sebuah batu besar, dan tak dapat keluar dari sana.

Seruni memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di lubang itu, dan berteriak; "Parapat, parapat!" yang artinya "Merapat, merapat!" Tujuannya agar lubang pada batu itu merapat dan menghimpit tubuhnya hingga ia tewas. Keinginan Seruni terkabul.

Maka, jika Anda ke Parapat, sebuah kota kecil di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Anda akan menemukan sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis yang seolah-olah sedang menggantung di tepi tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu disebut Batu Gantung, dan hingga kini menjadi salah satu objek wisata andalan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun yang ramai dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara. Konon, nama Kota Parapat berasal dari kata terakhir yang disebutkan Seruni, sebelum gadis itu meninggal.


2. Tangkuban Parahu, Jawa Barat


BanyakBanyak ilmuwan yang menyatakan bahwa Gunung Tangkuban Perahu merupakan sebuah gunung berapi aktif yang tercipta akibat proses alam selama ribuan, bahkan jutaan tahun. Namun bagi masyarakat Jawa Barat, gunung yang berjarak sekitar 25-30 kilometer di utara Kota Bandung dan berketinggian 2.084 meter dari permukaan laut (dpl) itu muncul di permukaan Bumi bukan akibat proses alam, melainkan karena kesaktian Sangkuriang.

Konon, dahulu kala, ada seorang wanita cantik bernama Dayang Sumbi. Ia hidup di tengah hutan bersama anaknya yang bernama Sangkuriang. Suatu hari, Dayang Sumbi menyuruh Sangkuriang berburu rusa karena ia ingin sekali memakan dagingnya. Sayang, rusa yang diburu Sangkuriang gagal didapatkan, sehingga karena tak ingin mengecewakan ibunya, Sangkuriang membunuh Tumang, anjing peliharaan ibunya yang menemani ia berburu, dan mempersembahkan dagingnya kepada sang Ibu.

Dayang Sumbi marah sekali setelah tahu apa yang dilakukan Sangkuriang itu karena Tumang ternyata penjelmaan ayah Sangkuriang sendiri. Ia memukul kepala Sangkuriang hingga bercucuran darah, dan kemudian mengusir Sangkuriang dari rumah.

Bertahun-tahun kemudian, Sangkuriang tumbuh dewasa yang tampan dan gagah, tanpa sengaja kembali ke hutan tempat dimana ibunya tinggal, dan menemukan Dayang Sumbi yang masih saja terlihat muda dan cantik. Ia jatuh cinta, dan cintanya terbalas karena Dayang Sumbi pun tak tahu kalau Sangkuriang adalah anaknya.

Suatu hari, saat mereka sedang bercengkrama, Dayang Sumbi melihat luka di kepala Sangkuriang, dan segera mengetahui kalau pemuda yang sedang memadu kasih dengan dirinya, adalah anaknya sendiri. Ia syok dan memutuskan hubungan mereka. Sangkuriang marah, dan ngotot untuk tetap menikahi Dayang Sumbi, meski kemudian Dayang Sumbi memberitahu kalau ia adalah ibu kandung Sangkuriang sendiri.

Tak kehabisan akal, Dayang Sumbi kemudian menyatakan bahwa ia bersedia dinikahi asalkan Sangkuriang mampu membuatkannya sebuah telaga dan sebuah perahu dalam satu malam. Sangkuriang menyanggupi. Dengan dibantu jin, Sangkuriang nyaris mampu memenuhi permintaan Dayang Sumbi, namun Dayang Sumbi lagi-lagi tak kehabisan akal. Ia menebar kain boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), dan dalam sekejap mata kain itu mengeluarkan cahaya bagaikan cahaya fajar di ufuk timur. Cahaya itu membuat jin-jin yang membantu Sangkuriang, mengira hari telah pagi dan buru-buru pergi, meninggalkan pekerjaannya yang hampir rampung.

Sangkuriang marah sekali ketika tahu siasat Dayang Sumbi itu. Ia lalu menendang perahu yang telah dibuatnya, dan perahu itu kemudian jatuh dalam keadaan menelungkup dan berubah menjadi gunung yang hingga kini kita kenal dengan nama Gunung Tangkuban Perahu. Selama 2 abad terakhir, gunung yang menjadi ikon pariwisata Jawa Barat ini telah beberap kali meletus, yakni pada 1829, 1846, 1862, 1887, 1896, 1910, dan 1929.


3. Candi Prambanan, Yogyakarta


Inilah candi yang memiliki bentuk sangat anggun dan menjadi salah satu ikon budaya Indonesia. Candi ini juga merupakan candi Hindu terbesar di Asia Tenggara.

 Konon, dahulu kala ada seorang pemuda sakti mandraguna yang ingin menikahi seorang putri cantik bernama Roro Jonggrang. Namanya Bandung Bondowoso. Pemuda ini beruntung karena ayah sang putri yang merupakan seorang raja, merestui perasaannya, dan bahkan memaksa sang Putri agar menikahi pemuda itu. Namun, sang putri enggan. Roro Jonggrang kemudian memberi satu syarat kepada Bandung yang disebutnya sebagai mas kawin, yakni meminta dibangunkan 1.000 buah candi yang harus telah rampung dalam semalam, sebelum ayam berkokok menjelang fajar menyingsing. Bandung menyanggupinya.

Menjelang dinihari, 999 candi telah dibuat, sehingga Roro Jonggrang panik dan meminta para wanita agar memukul lesung (alat penumbuk padi), sehingga ayam-ayam terbangun dan berkokok. Meski belum dinihari.

Bandung Bondowoso marah karena tahu telah dicurangi Roro Jonggrang. Ia lalu mengubah putri itu menjadi batu yang kini kita kenal dengan nama Candi Prambanan, atau Candi Roro Jonggrang menurut warga setempat. Sementara candi-candi lain yang teklah dibuat Bandung Bondowoso dan berada di sekitar Candi Roro Jonggrang dinamakan Candi Sewu atau Candi Seribu.


4. Danau Toba, Sumatera Utara


Jika ditinjau dari kaca ilmu pengetahuan, Danau Toba merupakan sebuah kawah vulkanik berukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang tercipta dari hasil ledakan gunung sekitar 75.000 tahun silam. Namun bagi penduduk setempat, danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara ini terbentuk karena dilatari sebuah legenda.

Konon, dahulu kala ada seorang pemuda miskin bernama Toba yang hidup dari bertani dan menangkap ikan di sungai. Suatu hari, ia menangkap seekor ikan mas yang dapat berbicara sebagaimana layaknya manusia. Ikan itu kemudian dibawa pulang, dan menjadi seorang gadis yang amat cantik.

Menurut pengakuan gadis itu, dirinya adalah seorang bidadari bernama Mina yang dikutuk para dewa, sehingga berubah menjadi ikan, dan meminta Toba untuk tidak membocorkan rahasia ini kepada siapapun. Toba bersedia asalkan Mina mau menikah dengannya, dan Mina setuju. Maka, menikahlah mereka, dan dikaruniai seorang anak bernama Samosir. Suatu hari, Mina menyuruh Samosir mengantarkan makan siang untuk Toba di ladang. Samosir menolak, namun karena Mina memaksa, Samosir terpaksa menurut.

Di tengah jalan, karena lapar, Samosir memakan sebagian besar nasi dan lauk pauk untuk Toba, sehingga ketika dia tiba di ladang, dia bukan hanya terlambat, tapi juga makanan Toba tinggal sedikit. Toba marah besar dan memukuli anak semata wayangnyanya itu sambil mengatakan; “Anak kurang ajar! Betul-betul kau anak keturunan perempuan yang berasal dari ikan!”

Samosir menangis dan bergegas pulang. Ia mengadu kepada Mina, dan menyampaikan apa yang dikatakan Toba. Mina terkejut dan merasa sangat kecewa karena Toba telah melanggar janji. Ia menerjunkan diri ke sungai dan kembali menjadi ikan. Tak hanya itu, air sungai meluap dan hujan turun dengan sangat deras, sehingga lembah dimana Toba tinggal, tenggelam. Air juga menggenangi desa-desa di sekitarnya, dan air tak surut lagi sehingga terciptalah sebuah danau besar yang kini kita kenal dengan nama Danau Toba.

 Konon, Toba tak dapat menyelamatkan diri dari banjir besar tersebut, dan dari tengah danau itu kemudian muncul sebuah pulau yang kini kita kenal dengan nama Pulau Samosir. Danau Toba berjarak sekitar 176 kilometer dari Medan. Danau ini merupakan salah satu objek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan, karena pemandangannya yang indah.



5. Danau Tolire, Ternate


Danau ini berada di kaki Gunung Gamalama, sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Ternate. Danau ini memiliki bentuk yang unik. Jika dilihat dari udara, danau ini seperti mangkok yang menjorok ke dalam.

 Dari pinggir atas tepi danau hingga ke permukaan, airnya memiliki kedalaman sekira 50 meter. Namun, kedalaman danau secara tepat tidak ada yang mengetahui karena belum ada yang pernah mengukurnya. Warga setempat percaya, danau ini tidak memiliki dasar, sehingga tidak ada yang berani menyelaminya. Konon, bila Anda melempar sesuatu ke Danau Tolire, meski sekuat apapun lemparan Anda dari tepi danau, sesuatu itu takkan pernah menyentuh air danau itu. Meski, air permukaan danau terlihat tidak begitu jauh dari Anda.

Banyak mitos yang berkembang di Danau Tolire. Mitos yang paling banyak dibicarakan adalah kisah mengenai seorang anak dan ayah kandungnya. Konon, menurut cerita masyarakat setempat, di tempat Danau Tolire berada saat ini, dulunya adalah sebuah kampung. Namun, kampung ini kemudian dikutuk oleh Sang Penguasa Alam karena ada seorang ayah yang tega menghamili anak gadisnya sendiri. Tempat si ayah tersebut berdiri ambles ke tanah dan kini menjadi tempat Danau Tolire Besar. Sedangkan anaknya berubah menjadi Danau Tolire Kecil, yang berada tak jauh dari situ.


6. Pantai Air Manis, Sumatra Barat


Pantai ini berada di Kota Padang. Panoramanya indah dengan ombak bergulung-gulung yang sangat pas untuk berselancar. Pasir pantai ini berwarna coklat keputih-putihan, terhampar luas dan landai. Dari waktu ke waktu, terutama di akhir pekan dan hari libur, wisatawan membanjiri pantai ini untuk sekedar berekreasi, kemping atau berselancar. Konon, pantai ini terkait erat dengan legenda Malin Kundang, anak yang durhaka kepada ibunya sendiri, dan dikutuk menjadi batu.

Malin mulanya anak orang miskin yang tinggal bersama ibunya di sebuah kampung. Suatu hari, Malin merantau karena ingin menjadi orang kaya raya, dan meninggalkan ibunya seorang diri. Bertahun-tahun kemudian, Malin kembali sebagai seorang saudagar kaya raya dengan istri yang cantik jelita. Sayang, karena malu melihat ibunya yang miskin dan berpakaian compang-camping, ia tak mengakui ibunya itu. Bahkan sang Ibu diusir dari kapalnya yang megah.

Sakit hati karena perlakuan anaknya yang durhaka, Ibu Malin Kundang berdoa kepada Tuhan dan mengutuk anaknya itu agar menjadi batu. Kutukan itu terjadi. Malin, istri, kapal, dan semua anak buahnya berubah menjadi batu. Hingga kini, batu penjelmaan mereka masih dapat dilihat di Pantai Air Manis yang berjarak sekitar 15 km dari kota Padang.


7. SAMPURAGA



Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka.

Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.

“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.

“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran, “Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.

“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.

“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan. Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.

“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya. “Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?”, tanya ibunya.

“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.

“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru

“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.

“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang ibu. Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga pun segera mempersiapkan segala sesuatunya.

Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, Raga berangkat! jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.

Berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.

Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang Ibu.

Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.

Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.

Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan Sampuraga. Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.

“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.

“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.

Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan dan Gordang Boru yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.

Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang kaya-raya.

“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.

Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri.

Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.

Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.

“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.

Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.

“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.

“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.

“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga.

Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya.

Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri

Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.

Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.

Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat jujur dan sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat dan perilaku Sampuraga.

Demikian cerita sampuraga yang telah di ambil dari berbagai sumber, sehingga legenda yang mulai terlupkan oleh segenap warga demi untuk melihat betapa hebatnya ganjaran yang didapa seorang anak bila durhaka kepada orang tua. Cerita yang bisa menarik objek wisata ini seolah terabaikan oleh pemerintah demi untuk tetap menjaga alkisah sampuraga dengan berbagai peninggalan sejarah yang melegenda secara nasional.

Disekolah juga sudah jarang terdengar bagaimana legenda dahulu yang bisa menggugah hati para siswa agar sampuraga adalah anak durhaka yang tidak perlu di tiru sebab pendidikan ahlak sangt minim, sehingga adapt istiadat Mandailing yang punya tutur sapa yang halus dan lembut kini mulai putar akibat dari berbagai kebudayaan barat yang sudah menjadi bahan tontonan di berbagai media televise.

Dari legenda juga adat istiadat yang bisa menuntun generasi penerus bangsa harus tetap dilestarikan dengan berbagai metode pendidikan sekolah untuk tidak mentiadakan adapt dan budaya Mandailing yang kini sudah terkikis oleh zaman.

Pemerintah Daerah, DPRD Madina juga pemangku adat harus tetap menjaga anak sebagai penenerus untuk tetap mengetahui adat istiadat Mandailing yang mempunyai adap yang tinggi juga alkisah yang harus tetap menjadi bahan contoh untuk semua orang agar tetap menghargai orang tua sebagaimana legenda sampuraga.(Henri pulungan)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar